A.Pendahuluan
Islam hadir
di dunia ini adalah sebagai rahmatan lil alamin,yaitu memberi keselamatan untuk
setiap makhluk yng ada di bumi ini.Islam sebagi rahmatan li alamin mempunyai
kesempurnaan di dalamnya diantaranya kesempurnaan zaman (tempat),kesempurnaan
mahaj (metode) dan kesempurnaan makan (tempat). Dengan kesempurnaannya itu
Islam mengatur segala problematika yang ada di dunia ini.Salah satu peran Islam
sebagai rahmatan lil alamin adalah mengatur kehidupan sosial dalam
bermasyarakat,yang tentu saja hal itu merupakan suatu yang penting karena hanya
dengan hal tersebut kedamaian di dunia ini dapat terwujud.
Dalam
pembahasan kali ini kami mengangkat tema mengenai Islam dan Sosial.Pembahasan
ini merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui dan diamalkan,yang
nampaknya akhir-akhir ini telah dilupakan oleh setiap umat muslim.Untuk
membahas mengenai Islam dan Sosial kami mengangkat tiga rumusam masalah,yaitu:
pengertian islam dan sosial,
B.Rumusan Masalah
1.Apa pengertian Islam dan Sosial?
2.Bagaimana Etika Sosial dalam Islam?
3.Bagaimana Peran Muhammad dalam Sosial?
C.Pembahasan
1.Pengertian Islam dan Sosial
Dalam
pembahasan yang pertama ini kami akan membahas mengenai pengertian Islam dan
sosial dan selanjutnya kami akan mencoba menghubungkan peran islam dalam
sosial.Dari
segi bahasa,Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata
“salima” yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari
kata “salima” selanjutnya diubah
menjadi bentuk “aslama” yang berarti
berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri,
patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.[1]
Sedangkan pengertian Islam secara istilah adalah norma kehidupan
yang sempurna yang dapat beradaptasi dengan setiap bangsa dan setiap
waktu.Firma Allah adalah abadi dan universal yang mencakup seluruh aktivitas
dari seluruh suasana kemanusiaan tanpa perbedaan apakah aktifitas mental atau
aktifitas duniawi.[2]
Selanjutnya mengenai pengertian sosial ialah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat atau suka memperhatikan
kepentingan umum (suka menolong, menderma, dsb)[3].Jika kita cermati dari pengertian Islam dan sosial
maka akan kita dapatkan bahwa Islam mempunyai peran besar terhadap permasalahan
sosial.Sebelum datangnya Islam dalam bidang sosial, keadaan
masyarakat terbagi-bagi kedalam sosial atau kasta yang dibedakan berdasarkan
suku bangsa, bahasa, warna kulit, harta benda, jenis kelamin, dan lain sebagainya.
Dengan sistem kelas yang demikian, maka tidak akan terjadi mobilitas vertikal
yang didasarkan pada pretasinya masing-masing.Setelah datangnya Islam maka, Islam memperkenalkan ajaranyang
bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia dengan
manusia lain. Satu dan lainnya sama-sama sebagai makhluk Allah SWT. Dengan
segala kelebihan dan
kekurangannya masing-masing.Jadi pada dasarnya Islam menolak segala bentuk
diskriminasiberdasarkan ras, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan dan
kekuasaan.Jadi benarlah jika Islam mempunyai peran besar terhadap masalah
sosial untuk kearah yang lebih baik.
2.Etika Sosial dalam Islam
Islam adalah agama yang hadir di
muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan
bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan
praksis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang
terbaik atas segala problem sosial yang ada dalam masyarakat,kali ini kami akan
membahas persoalan etika sosial dalam Islam. Sekiranya, persoalan etika adalah
tema penting yang menarik untuk diperbincangkan.
Istilah “etika” dan “moralitas” adalah dua istilah yang hampir
mirip, namun sesungguhnya berbeda. Kata “etika” berasal dari kata Yunani yang
dipakai untuk pengertian karakter pribadi, sedangkan “moral” berasal dari kata
Latin untuk kebiasaan sosial.[4] Akan
tetapi, dalam tulisan ini kami tidak memisahkan pengertian dua istilah tersebut.
Etika memiliki pengertian bahwa manusia diharapkan mampu mengatasi
sifat-sifat jahatnya dan mengembangkan sifat-sifat baik dalam dirinya. Paul
Foulquie mendefinisikan etika sebagai aturan kebiasaan yang apabila ditaati dan
dipatuhi, akan mengantarkan manusia meraih segenap tujuannya.[5] Biasanya
etika sangat terkait dengan persoalan-persoalan bagaimana meraih kebahagiaan
dalam diri manusia.
Ketika kita berbicara tentang agama dan moralitas, tentu akan
timbul sebuah pertanyaan penting tentang hubungan keduanya, yaitu: apakah
moralitas mengandaikan agama? Seringkali kita menyamakan persepsi tentang agama
dan moralitas. Banyak orang beragama memandang kaidah-kaidah moralitas itu
berkaitan erat dengan agama, dan dianggap bahwa tidak mungkin orang yang
sungguh-sungguh bermoral tanpa agama. Seringkali dianggap pula bahwa orang yang
bermoral pasti memegang teguh keyakinan agamanya. Demikian hal sebaliknya,
orang yang beragama sering dianggap pasti mengarah pada tujuan-tujuan
moralitas. Padahal, kedua tema tersebut belum tentu sepenuhnya mengandung
pengertian yang sama.
Ada tiga alasan mengapa kebanyakan orang menganggap pengertian di
atas: (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut pada persoalan bagaimana
manusia itu bisa hidup dengan baik; (2) agama merupakan salah satu pranata
kehidupan manusia yang paling kuno; dan (3) dalam praktek keberagamaan ada
kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang baik dan menjatuhkan
hukuman bagi orang yang jahat, sehingga secara psikologis agama dapat menjadi
penjamin yang kuat bagi hidup yang bermoral.[6]
Alangkah baiknya, bila pemahaman kita mengarah pada pengertian
bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas agama. Memang, secara psikologis
agama dapat saja dan secara faktual memang tidak jarang mendorong manusia untuk
hidup bermoral, sesuai dengan kaidah-kaidah moralitas.Demikian pula, dalam
kenyataannya orang yang beragama dengan benar-benar akan membuahkan hidup
bermoral yang baik. Menurut J. Sudarminta, walaupun logika di atas bisa
dipahami, tapi sesungguhnya prinsip-prinsip dasar moralitas dapat pula dikenali
dan dipraktikkan oleh manusia yang tidak beragama yang menggunakan pemikiran
atau akal budinya. Bahkan, kita pun sebenarnya sering melihat perilaku orang
yang mengaku beragama tapi perbuatannya sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah
moral yang diajarkan dalam agama itu sendiri.
Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan
kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam
secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami
Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara
lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral
yang murni.
Menurut Mahmud Ayyoub, Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat
diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak didasarkan oleh iman terhadap
kekuasaan Tuhan, melainkan didasarkan pada adat yang dihormati sehingga mampu
membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur moralnya. Islam sangat
mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran, keramahtamahan, dan
kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat, tapi juga
bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, orang miskin, dan sebagainya.
Memahami Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak
secara historis bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi
Muhammad mengembangkan Islam pada saat itu. Hal ini penting agar kita mampu
menangkap pesan-pesan moralitas Islam dengan baik. Karena, oleh sebagian besar
masyarakat muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada
produk aturan syariat yang didirikan Nabi pada saat beliau sudah menetap di
kota Madinah. Kita sering melupakan prosesi sejarah di mana Islam sebenarnya
terkonstruksi melalui sebuah proses yang bertahap dan disesuaikan dengan
konteks zaman pada saat itu.
Mahmud Muhammad Thaha, pemikir Islam asal Sudan, yang merupakan
guru dari Abdullahi Ahmed An-Naim, memberikan perspektif baru dalam melihat
Islam dan produk syariatnya. Beliau membagi Islam pada dua periodesasi, yaitu
periode Mekkah (610-622 M) yang disebut dengan “ar-risalah al-ula” (the first
message-Misi Pertama) dan periode Madinah (622-632 M) yang disebut dengan
“ar-risalah ats-tsaniyah” (the second message-Misi Kedua).[7]
Karakter Islam yang terbangun dalam misi pertama adalah
ajaran-ajaran yang bernuansa universal, substantif, penuh dengan semangat
perlindungan HAM, semangat egaliter, dan bercirikan sistem yang demokratis.
Sedangkan Islam pada masa misi kedua sudah menjadi bangunan keislaman yang
cenderung mapan, berorientasi penuh ke dalam (in wordly), dan penuh dengan
aturan-aturan “syariat” kolektif.
Nabi Muhammad SAW adalah utusan bagi misi pertama dan juga diutus
untuk misi kedua. Allah telah menjelaskan secara detil misi Pertama dan
memberikan secara global misi kedua. Untuk memahami misi kedua secara terinci
dibutuhkan pemahaman baru terhadap al-Qur’an. Namun, Thaha memberikan catatan
bahwa pada dasarnya al-Qur’an itu tidak mungkin dijelaskan secara final. Islam
tidak mungkin selesai. Perjalanan Islam adalah perjalanan secara terus-menerus,
tidak mengenal akhir dari proses pencarian. Oleh karena itu, menjalankan
al-Qur’an dalam bingkai Islam berarti melakukan perjalanan menuju Allah secara
terus-menerus. Agar bisa menangkap pesan wahyu dan realitas yang tengah diamati
maka perlu menyertakan upaya kontekstualiasi pemaknaan secara dinamis.Melalui
penjelasan Thaha tersebut kita bisa memahami bahwa ajaran-ajaran moral atau
etika Islam sebagian besar telah ada dalam konstruksi Islam pada masa Mekkah.
Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika
dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam
adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok. Perdebatan
antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah
menghiasi sejarah pemikiran Islam.
Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif,
bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak
moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa
dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah.
Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar
adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita
untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan
landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat
menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas
bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.
Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini.
Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau
dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akan tetapi,
kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah
sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang
buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika
di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan
moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai
pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan
pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan
menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud
menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat
dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa
pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan
dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.[8]
Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau
moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali
jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an
menjadi petunjuk utama atau bahkan satu-satunya dalam tindakan etis, dan dengan
keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar
universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia.
Amin Abdullah melakukan kajian perbandingan tentang filsafat etika
al-Ghazali dan Immanuel Kant, sebagai dua tokoh intelektual representatif dari
kalangan Muslim dan Kristiani. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali
dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika
mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk
menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
Pemikiran etika Islam yang dibangun dengan sistem berpikir rasional
adalah madzhab Mu’tazilah. Madzhab ini sering disebut sebagai madzhab
rasionalisme dalam pemikiran Islam. Kalangan Mu’tazilah membuktikan
kepercayaan-kepercayaan yang hanya diterima lewat perantaraan wahyu dengan
argumen-argumen rasional, tapi juga mempercayai akal sebagai pemecah segala
persoalan. Misalnya, ketika teks agama bertentangan dengan akal manusia, maka
menurut kalangan Mu’tazilah kita harus berpihak pada akal, dan teks agama itu
harus ditafsirkan.
Menurut Mu’tazilah, syariat yang mengajarkan tentang etika, seperti
perbuatan baik, harus ditundukkan di bawah kendali akal. Alasannya, wahyu tidak
menetapkan nilai tertentu pada sebuah perbuatan baik. Wahyu hanya mengabarkan
adanya nilai perbuatan itu, tapi akal-lah yang membuktikan baik-buruknya sebuah
perbuatan.Jelas terlihat bahwa Mu’tazilah mengembalikan hukum-hukum etika pada
prinsip-prinsip rasionalitas.
Madzhab Mu’tazilah sangat mementingkan peran akal karena Tuhan
memberikan akal pikiran kepada manusia agar ia mau berpikir. Dengan
diberikannya akal ini, manusia mampu menentukan perbuatan, karena ia berkuasa.
Manusia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan taat kepada Tuhan dengan
akal pikirannya. Jadi, akal-lah yang membimbing manusia dalam kehidupan
praktisnya.
Etika sosial Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan
kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika sosial Islam
adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat
baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.
Bagi madzhab Mu’tazilah, keadilan adalah asas etika. Keadilan Tuhan
adalah salah satu lima asas yang diyakini Mu’tazilah. Mereka kerap menerapkan
asas keadilan sebelum asas tauhid, sehingga mereka sering disebut sebagai “ahl
al-‘adl wa al-tauhid”. Dalam madzhab Mu’tazilah, ada korelasi antara asas
keadilan dan asas tauhid. Bagi Mu’tazilah, tauhid adalah sifat terpenting dari
zat Tuhan, sedang keadilan adalah sifat terpenting dari perbuatan Tuhan. Dengan
pengertian keadilan seperti ini, maka ada relasi antara Tuhan dan manusia,
sebuah relasi yang berbasis pada keadilan mutlak dari sisi Tuhan. Mu’tazilah
berkeyakinan bahwa seluruh yang dilakukan Tuhan sepenuhnya adalah adil.
Definisi keadilan menurut Mu’tazilah, seperti dikutip
al-Syahrastani, adalah “kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara
benar dan berguna”. Sehingga, dalam pemikiran Mu’tazilah, akal mengharuskan
segala perbuatan yang bersumber dari Tuhan dan yang berkaitan dengan manusia
mukallaf, berdasarkan pada kebijaksanaan Tuhan dan mengandung maslahat bagi
umat manusia. Pengertian keadilan menurut Mu’tazilah juga berarti berbuat
menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.[9]Dengan
pengertian demikian, perbuatan manusia perlu didasarkan atas pertimbangan
rasional, menuju pada keadilan, dan mengarah pada kepentingan manusia.
Etika sosial Islam juga harus menjamin adanya kebebasan individu.
Menurut Mahmud Thaha, aturan dasar Islam adalah bahwa setiap orang bebas hingga
secara praksis dia terlihat tidak mampu dalam menjalankan kebebasannya.Kebebasan
itu harus diimbangi dengan keharusan menunaikan kewajiban, yaitu bagaimana
menjalankan kebebasan secara baik. Jika tidak mampu menjalankan kebebasannya
maka kewajibannya harus dicabut melalui “hukum”, dengan menyeimbangkan antara kepentingan
individu dan kepentingan kolektif.
Mengenai hubungan antara individu dan kelompok dalam Islam, Thaha
menjelaskan dengan sangat menarik sekali. Islam menjadikan individu sebagai
tujuan pada dirinya sendiri. Individu diberi kebebasan sebagai pengampu
moralitas. Kebutuhan individu terhadap kebebasan mutlak individualnya merupakan
perpanjangan dari kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial yang menyeluruh.
Islam menata masyarakat sebagai sarana untuk menuju kebebasan dengan landasan
tauhid. Sehingga, syariat dijadikan “jalan dan metode” yang terbagi atas dua
tingkatan, yaitu tingkatan individual yang berbentuk ibadah dan tingkatan
kelompok yang dimanifestasikan dalam bentuk mu’amalah.
Kebebasan dalam Islam adalah mutlak dan menjadi hak setiap individu
sebagai manusia, tanpa memandang agama ataupun etnis, dan sebagainya.
Undang-undang dalam Islam adalah suatu peraturan untuk menghubungkan antara
kebutuhan individu dan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial. Sehingga,
yang menjadi dasar adalah syariat individual, bukan syariat kolektif. Titik
pijakan utama adalah pada tingkatan kebebasan individual yang mempengaruhi
keberadaan syariat pada tingkatan kolektif.Sehingga unsur dasar pada misi kedua
adalah penerapan syariat secara dinamis, ada kemungkinan perubahan, dan
mengalami proses perkembangan (organis). Syariat pada masa Madinah bersifat
sangat dinamis, sedang syariat pada masa Makkah
bersifat universal dan substantif.
Jadi, jika kita mencoba memahami syariat (Islam) maka pijakannya
yang utama pada masa Makkah karena di
sana kebebasan individual sangat diperhatikan. Istilahnya, Islam kafah
(sempurna) adalah Islam pada masa periode Makkah.
Masa Madinah adalah “perpanjangan tangan” atas syariat pada masa Makkah, yang
tidak lantas kemudian me-nasakh (menghapus) syariat sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa etika sosial Islam memiliki peran yang
sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam
mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri
ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada
tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan
mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada
tindakan sosial dan syariat kolektif.
Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika
individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat
manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada
persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata
diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga
sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih
luas.
3.Peran Nabi Muhammad SAW dalam sosial
Berbeda dengan visi para orientalis pada umumnya, Montogomery Watt memandang positif sosok Nabi Muhammad. Dalam bukunya yang terkenal bertajuk Muhammad:
prophet and statesman, Watt menguraikan secara komprehensif sejarah hidup Nabi Muhammad secara obyektif. Buku tersebut
merupakan pemadatan dari dua buah buku
yang dikarang oleh Waat sebelumnya,
menurut Watt, Muhammad(sebagai seorang Nabi) mengajarkan dan menyebarkan agama
islam sebagai tatanan etik, moral dan sosial bagi masyarakat yang di bangunnya.[10]
Tugas kenabian dan kenegarawan telah dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad
dengan sukses. Keberhasilan ini dindikasikan oleh kenyataan bahwa sukuisme
sempit yang merajalela pada masa jahiliyah telah dilenyapkan dan di gantikan
oleh setruktur masyarakat yang asasi dan demokrasi yang sesuai dengan etika.
Dalam pandangan Islam manusia pada hakikatnya adalah setara,
setingkat dan sama dalam tataran harkat, derajat dan kedudukannya. Dan yang
membedakannya secara mendasar semata-mata terletak pada
bobot, nilai dan kualitas ketakwaannya kepada Allah Yang Maha Esa.
Yang berarti bahwa Muhammad sebagai Nabi dan
negarawan mengajarkan perlunya pembinaan dan pemantapan sendi-sendi pluralisme,
inklusivisme, egalitarianisme dan humanism.Nabi sama sekali
tidak mentoleransi dan tidak membenarkan segala bentuk sukuisme, rasialisme,
ekslusivisme, chauvinisme, feodalisme, superioritas kesukuan dan kebangsaan
yang sempit. Dalam
posisi demikian, Nabi Muhammad
sekaligus tampil sebagai sosok reformasi ini masih tetap releven dengan zaman
sekarang ini dan masa-masa yang akan datang. Karena semangat
reformasi yang di canangkan Nabi Muhammad
sejalan dengan nuansa-nuansa kemanusiaan
universal, dan dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menurut watt, ada tiga fondasi utama yang menjadi
landasan kebesaran Muhammad
1).Muhammad
mempunyai bakat dan visi sebagai pengamat yang jeli yang bisa menerawang melihat berbagai permasalahan jauh
ke depan. Melalui
dia, melalui wahyu yang di terimanya, dunia arab telah diperuntuhkan kepadanya
sebagai arena yang dapat memunculkan kerangka ide gagasan yang
memungkinkan dia ada.[11]
2).Muhammad
sebagai seorang negarawan bersifat bijaksana dalam melaksanakan segala sikap
kenegarawanannya. Struktur konseptual yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah
bersifat kerangka dasar.
3).Muhammad
mempunyai seperangkat
kecakapan dan strategi sebagai seorang administrator dan mempunyai pengetahuan
dalam memilih pembantunya untuk menangani masalah-masalah administratif.
Selanjutnya Montgomary Watt mengatakan bahwa
lebih banyak dan lebih mendalam seorang berefleksi
tentng lika-liku sejarah hidup Nabi Muhammad, maka
ia akan lebih merasa kagum terhadap kebesaran prestasi-prestasi yang telah di
capainya. Keadaan memang telah memberinya peluang kepadanya dan ini jarang
dimiliki oleh setiap orang, tetapi kelebihan Nabi Muhammad terletak pada
kenyataan bahwa ia telah berjuang dan berpacu dengan waktu untuk mewujudkan
prestasi-pretasinya yang luar biasa. Seandainya semua ini bukan karena
kecakapannya sebagai seorang negarawan yang mempunya visi dan misi yang jeli,
sebagai negarawan dan administrator, dan dibalik ini semua ini, kepercayaan
terhadap Tuhan dan keyakinan bahwa tuhan yang telah mengutusnya, maka sebuah
bab penting dalam lembaran perjalanan sejarah umat manusia akan tetap tidak di
tulis.
Dengan kata lain, prestasi-prestrasi besarnya
diraih atas dasar bobot kemampuan, kadar
kecakapan dan kualitaas ketrampilan yang dimilikinya, maka Muhammad sebagai Nabi,
sebagai negarawan dan sebagai reformis ditulis dan direkam dalam lembaran
sejarah dunia. Tepat sekala apabila Michael H. Hart, penulis barat, dalam
bukunya yang terkenal The 100:A Rangking of the Most Influental persons in
History (Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah) menempatkan Nabi Muhammad
sebagai tokoh pertama.[12]
Dalam menempatkan Nabi Muhammad
sebagai tokoh pertama yang berpengaruh dalam sejarah, Hart menggunakan kriteria
kesejarahan dan kualifikasi obyektif sebagai berikut.
1).Orangya benar-benar
pernah ada dan tidak hanya hidup dalam dongeng-dongeng
2).Prestasinya
mempunyai pengaruh terhadap generasi akan dating dan terhadap pristiwa-pristiwa
yang akan terjadi
3).Ia mempunyai
pengaruhterhadap generasi sekarang dan generasi yang akan dating.
4).Karya, ide dan
cita-citanya merupakan hasil individual dan bukan merupakan buah pikiran
kolektif.
Dasar-dasar kriteria dan kualifikasi yang dipakai
oleh hart dalam menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh yang paling berpengaruh
dalam sejarah tentunya dilandaskan pada obyektivitas, bukian subjektivitas.Karena
itu, kriteria dan kualifikasi itu dapat di terima dengan obyektif pula,Muhammad benar-benar
pernah ada, mempunyai pengaruh luas terhadap generasinya dan generasi yang akan
datang, prestasinya memiliki pengaruh luas pada masa hidupnya dan masa-masa
sesudahnya dan yang akan datang, dan ide, cita-citanya dan karyanya merupakan
hasil individual yang bersandar pada ketokohannya sebagai figure yang humanis.
D.Kesimpulan
1. Dari pengertian
Islam dan Sosial maka kita dapat mengetahui bahwa Islam mempunyai peran besar
dalam masalah sosial,yaitu merubah sistim sosial yang asalnya berupa kasta
menjadi sistem yang bersifat egaliter
2. Etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan
atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat
mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
3. Nabi Muhammad mempunyai peran penting dalam perubahan sosial
masyarakat hal itu karena kemampuan, kadar
kecakapan dan kualitaas ketrampilan yang dimilikinya serta karena Allah SWT memberi kemudahan bagi Nabi Muhammad.
E.Penutup
Demikian makalah yang
dapat kami buat mengenai Islam
dan Sosial.Semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis khususnya. Dalam makalah ini tentu masih jauh dari sempurna sehingga
memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
F.Daftar Pustaka
Abdullah,Amin.2002.Filsafat Etika Islam.Bandung:
Mizan
Ismail,Faisal.2003.Ketegangan Kreatif Peradaban Islam
KBBI Offline 1.3
Kuroda,Tosio (ed.).1983.Islam Jiten.Toko:Tokyodo
Shuppan
Manhaz
Heydarpoor.2004. Wajah
Cinta Islam dan Kristen, terj. M. Habib.
. Wijaksana.Bandung:
Arasy Mizan
Nasution,Harun.1972.
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta:
UI PressSaifuddin,Endang.1992. kuliah al-islam .jakarta: CV rajawali Sudarminta,J.2001. Etika
Umum
(Diktat Kuliah).Jakarta: STF Driyarkara Thaha,Muhammad.2003. Arus
Balik Syariah, terj. Khoiron Nahdiyyin .Yogyakarta: . LKiS
[2] Tosio Kuroda (ed.),Islam Jiten,(Toko:Tokyodo Shuppan),h.13-14.
[3] KBBI Offline 1.3
[4]
Dikutip dalam Manhaz Heydarpoor, Wajah Cinta Islam dan Kristen, terj. M.
Habib Wijaksana (Bandung: Arasy Mizan, 2004), hal. 31.
[5]Ibid,hal.32
[6]
J. Sudarminta, Etika Umum (Diktat Kuliah), (Jakarta: STF
Driyarkara, 2001), hal. 12.
[7]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah, terj. Khoiron
Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003).
[8]M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika
Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 137-138.
[9]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), cet. v, hal. 125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar