Pages

Rabu, 06 Februari 2013

Islam & Sosial


A.Pendahuluan
Islam hadir di dunia ini adalah sebagai rahmatan lil alamin,yaitu memberi keselamatan untuk setiap makhluk yng ada di bumi ini.Islam sebagi rahmatan li alamin mempunyai kesempurnaan di dalamnya diantaranya kesempurnaan zaman (tempat),kesempurnaan mahaj (metode) dan kesempurnaan makan (tempat). Dengan kesempurnaannya itu Islam mengatur segala problematika yang ada di dunia ini.Salah satu peran Islam sebagai rahmatan lil alamin adalah mengatur kehidupan sosial dalam bermasyarakat,yang tentu saja hal itu merupakan suatu yang penting karena hanya dengan hal tersebut kedamaian di dunia ini dapat terwujud.                                        
Dalam pembahasan kali ini kami mengangkat tema mengenai Islam dan Sosial.Pembahasan ini merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui dan diamalkan,yang nampaknya akhir-akhir ini telah dilupakan oleh setiap umat muslim.Untuk membahas mengenai Islam dan Sosial kami mengangkat tiga rumusam masalah,yaitu: pengertian islam dan sosial,
B.Rumusan Masalah
1.Apa pengertian Islam dan Sosial?
2.Bagaimana Etika Sosial dalam Islam?
3.Bagaimana Peran Muhammad dalam Sosial?
C.Pembahasan
1.Pengertian Islam dan Sosial
Dalam pembahasan yang pertama ini kami akan membahas mengenai pengertian Islam dan sosial dan selanjutnya kami akan mencoba menghubungkan peran islam dalam sosial.Dari segi bahasa,Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “salima” yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata “salima” selanjutnya diubah menjadi bentuk “aslama” yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.[1]
Sedangkan pengertian Islam secara istilah adalah norma kehidupan yang sempurna yang dapat beradaptasi dengan setiap bangsa dan setiap waktu.Firma Allah adalah abadi dan universal yang mencakup seluruh aktivitas dari seluruh suasana kemanusiaan tanpa perbedaan apakah aktifitas mental atau aktifitas duniawi.[2]
Selanjutnya mengenai pengertian sosial ialah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat atau suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dsb)[3].Jika kita cermati dari pengertian Islam dan sosial maka akan kita dapatkan bahwa Islam mempunyai peran besar terhadap permasalahan sosial.Sebelum datangnya Islam dalam bidang sosial, keadaan masyarakat terbagi-bagi kedalam sosial atau kasta yang dibedakan berdasarkan suku bangsa, bahasa, warna kulit, harta benda, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Dengan sistem kelas yang demikian, maka tidak akan terjadi mobilitas vertikal yang didasarkan pada pretasinya masing-masing.Setelah datangnya Islam maka, Islam memperkenalkan ajaranyang bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia dengan manusia lain. Satu dan lainnya sama-sama sebagai makhluk Allah SWT. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing.Jadi pada dasarnya Islam menolak segala bentuk diskriminasiberdasarkan ras, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan.Jadi benarlah jika Islam mempunyai peran besar terhadap masalah sosial untuk kearah yang lebih baik. 
2.Etika Sosial dalam Islam

Islam adalah agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan praksis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problem sosial yang ada dalam masyarakat,kali ini kami akan membahas persoalan etika sosial dalam Islam. Sekiranya, persoalan etika adalah tema penting yang menarik untuk diperbincangkan.
Istilah “etika” dan “moralitas” adalah dua istilah yang hampir mirip, namun sesungguhnya berbeda. Kata “etika” berasal dari kata Yunani yang dipakai untuk pengertian karakter pribadi, sedangkan “moral” berasal dari kata Latin untuk kebiasaan sosial.[4] Akan tetapi, dalam tulisan ini kami tidak memisahkan pengertian dua istilah tersebut.
Etika memiliki pengertian bahwa manusia diharapkan mampu mengatasi sifat-sifat jahatnya dan mengembangkan sifat-sifat baik dalam dirinya. Paul Foulquie mendefinisikan etika sebagai aturan kebiasaan yang apabila ditaati dan dipatuhi, akan mengantarkan manusia meraih segenap tujuannya.[5] Biasanya etika sangat terkait dengan persoalan-persoalan bagaimana meraih kebahagiaan dalam diri manusia.
Ketika kita berbicara tentang agama dan moralitas, tentu akan timbul sebuah pertanyaan penting tentang hubungan keduanya, yaitu: apakah moralitas mengandaikan agama? Seringkali kita menyamakan persepsi tentang agama dan moralitas. Banyak orang beragama memandang kaidah-kaidah moralitas itu berkaitan erat dengan agama, dan dianggap bahwa tidak mungkin orang yang sungguh-sungguh bermoral tanpa agama. Seringkali dianggap pula bahwa orang yang bermoral pasti memegang teguh keyakinan agamanya. Demikian hal sebaliknya, orang yang beragama sering dianggap pasti mengarah pada tujuan-tujuan moralitas. Padahal, kedua tema tersebut belum tentu sepenuhnya mengandung pengertian yang sama.
Ada tiga alasan mengapa kebanyakan orang menganggap pengertian di atas: (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut pada persoalan bagaimana manusia itu bisa hidup dengan baik; (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling kuno; dan (3) dalam praktek keberagamaan ada kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang baik dan menjatuhkan hukuman bagi orang yang jahat, sehingga secara psikologis agama dapat menjadi penjamin yang kuat bagi hidup yang bermoral.[6]
Alangkah baiknya, bila pemahaman kita mengarah pada pengertian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas agama. Memang, secara psikologis agama dapat saja dan secara faktual memang tidak jarang mendorong manusia untuk hidup bermoral, sesuai dengan kaidah-kaidah moralitas.Demikian pula, dalam kenyataannya orang yang beragama dengan benar-benar akan membuahkan hidup bermoral yang baik. Menurut J. Sudarminta, walaupun logika di atas bisa dipahami, tapi sesungguhnya prinsip-prinsip dasar moralitas dapat pula dikenali dan dipraktikkan oleh manusia yang tidak beragama yang menggunakan pemikiran atau akal budinya. Bahkan, kita pun sebenarnya sering melihat perilaku orang yang mengaku beragama tapi perbuatannya sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah moral yang diajarkan dalam agama itu sendiri.
Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.
Menurut Mahmud Ayyoub, Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak didasarkan oleh iman terhadap kekuasaan Tuhan, melainkan didasarkan pada adat yang dihormati sehingga mampu membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur moralnya. Islam sangat mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran, keramahtamahan, dan kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat, tapi juga bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, orang miskin, dan sebagainya.
Memahami Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak secara historis bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi Muhammad mengembangkan Islam pada saat itu. Hal ini penting agar kita mampu menangkap pesan-pesan moralitas Islam dengan baik. Karena, oleh sebagian besar masyarakat muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada produk aturan syariat yang didirikan Nabi pada saat beliau sudah menetap di kota Madinah. Kita sering melupakan prosesi sejarah di mana Islam sebenarnya terkonstruksi melalui sebuah proses yang bertahap dan disesuaikan dengan konteks zaman pada saat itu.
Mahmud Muhammad Thaha, pemikir Islam asal Sudan, yang merupakan guru dari Abdullahi Ahmed An-Naim, memberikan perspektif baru dalam melihat Islam dan produk syariatnya. Beliau membagi Islam pada dua periodesasi, yaitu periode Mekkah (610-622 M) yang disebut dengan “ar-risalah al-ula” (the first message-Misi Pertama) dan periode Madinah (622-632 M) yang disebut dengan “ar-risalah ats-tsaniyah” (the second message-Misi Kedua).[7]
Karakter Islam yang terbangun dalam misi pertama adalah ajaran-ajaran yang bernuansa universal, substantif, penuh dengan semangat perlindungan HAM, semangat egaliter, dan bercirikan sistem yang demokratis. Sedangkan Islam pada masa misi kedua sudah menjadi bangunan keislaman yang cenderung mapan, berorientasi penuh ke dalam (in wordly), dan penuh dengan aturan-aturan “syariat” kolektif.
Nabi Muhammad SAW adalah utusan bagi misi pertama dan juga diutus untuk misi kedua. Allah telah menjelaskan secara detil misi Pertama dan memberikan secara global misi kedua. Untuk memahami misi kedua secara terinci dibutuhkan pemahaman baru terhadap al-Qur’an. Namun, Thaha memberikan catatan bahwa pada dasarnya al-Qur’an itu tidak mungkin dijelaskan secara final. Islam tidak mungkin selesai. Perjalanan Islam adalah perjalanan secara terus-menerus, tidak mengenal akhir dari proses pencarian. Oleh karena itu, menjalankan al-Qur’an dalam bingkai Islam berarti melakukan perjalanan menuju Allah secara terus-menerus. Agar bisa menangkap pesan wahyu dan realitas yang tengah diamati maka perlu menyertakan upaya kontekstualiasi pemaknaan secara dinamis.Melalui penjelasan Thaha tersebut kita bisa memahami bahwa ajaran-ajaran moral atau etika Islam sebagian besar telah ada dalam konstruksi Islam pada masa Mekkah.
Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok. Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.
Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah. Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.
Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akan tetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.[8]
Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama atau bahkan satu-satunya dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia.
Amin Abdullah melakukan kajian perbandingan tentang filsafat etika al-Ghazali dan Immanuel Kant, sebagai dua tokoh intelektual representatif dari kalangan Muslim dan Kristiani. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
Pemikiran etika Islam yang dibangun dengan sistem berpikir rasional adalah madzhab Mu’tazilah. Madzhab ini sering disebut sebagai madzhab rasionalisme dalam pemikiran Islam. Kalangan Mu’tazilah membuktikan kepercayaan-kepercayaan yang hanya diterima lewat perantaraan wahyu dengan argumen-argumen rasional, tapi juga mempercayai akal sebagai pemecah segala persoalan. Misalnya, ketika teks agama bertentangan dengan akal manusia, maka menurut kalangan Mu’tazilah kita harus berpihak pada akal, dan teks agama itu harus ditafsirkan.
Menurut Mu’tazilah, syariat yang mengajarkan tentang etika, seperti perbuatan baik, harus ditundukkan di bawah kendali akal. Alasannya, wahyu tidak menetapkan nilai tertentu pada sebuah perbuatan baik. Wahyu hanya mengabarkan adanya nilai perbuatan itu, tapi akal-lah yang membuktikan baik-buruknya sebuah perbuatan.Jelas terlihat bahwa Mu’tazilah mengembalikan hukum-hukum etika pada prinsip-prinsip rasionalitas.
Madzhab Mu’tazilah sangat mementingkan peran akal karena Tuhan memberikan akal pikiran kepada manusia agar ia mau berpikir. Dengan diberikannya akal ini, manusia mampu menentukan perbuatan, karena ia berkuasa. Manusia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan taat kepada Tuhan dengan akal pikirannya. Jadi, akal-lah yang membimbing manusia dalam kehidupan praktisnya.
Etika sosial Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika sosial Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.
Bagi madzhab Mu’tazilah, keadilan adalah asas etika. Keadilan Tuhan adalah salah satu lima asas yang diyakini Mu’tazilah. Mereka kerap menerapkan asas keadilan sebelum asas tauhid, sehingga mereka sering disebut sebagai “ahl al-‘adl wa al-tauhid”. Dalam madzhab Mu’tazilah, ada korelasi antara asas keadilan dan asas tauhid. Bagi Mu’tazilah, tauhid adalah sifat terpenting dari zat Tuhan, sedang keadilan adalah sifat terpenting dari perbuatan Tuhan. Dengan pengertian keadilan seperti ini, maka ada relasi antara Tuhan dan manusia, sebuah relasi yang berbasis pada keadilan mutlak dari sisi Tuhan. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa seluruh yang dilakukan Tuhan sepenuhnya adalah adil.
Definisi keadilan menurut Mu’tazilah, seperti dikutip al-Syahrastani, adalah “kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara benar dan berguna”. Sehingga, dalam pemikiran Mu’tazilah, akal mengharuskan segala perbuatan yang bersumber dari Tuhan dan yang berkaitan dengan manusia mukallaf, berdasarkan pada kebijaksanaan Tuhan dan mengandung maslahat bagi umat manusia. Pengertian keadilan menurut Mu’tazilah juga berarti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.[9]Dengan pengertian demikian, perbuatan manusia perlu didasarkan atas pertimbangan rasional, menuju pada keadilan, dan mengarah pada kepentingan manusia.
Etika sosial Islam juga harus menjamin adanya kebebasan individu. Menurut Mahmud Thaha, aturan dasar Islam adalah bahwa setiap orang bebas hingga secara praksis dia terlihat tidak mampu dalam menjalankan kebebasannya.Kebebasan itu harus diimbangi dengan keharusan menunaikan kewajiban, yaitu bagaimana menjalankan kebebasan secara baik. Jika tidak mampu menjalankan kebebasannya maka kewajibannya harus dicabut melalui “hukum”, dengan menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif.
Mengenai hubungan antara individu dan kelompok dalam Islam, Thaha menjelaskan dengan sangat menarik sekali. Islam menjadikan individu sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Individu diberi kebebasan sebagai pengampu moralitas. Kebutuhan individu terhadap kebebasan mutlak individualnya merupakan perpanjangan dari kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. Islam menata masyarakat sebagai sarana untuk menuju kebebasan dengan landasan tauhid. Sehingga, syariat dijadikan “jalan dan metode” yang terbagi atas dua tingkatan, yaitu tingkatan individual yang berbentuk ibadah dan tingkatan kelompok yang dimanifestasikan dalam bentuk mu’amalah.
Kebebasan dalam Islam adalah mutlak dan menjadi hak setiap individu sebagai manusia, tanpa memandang agama ataupun etnis, dan sebagainya. Undang-undang dalam Islam adalah suatu peraturan untuk menghubungkan antara kebutuhan individu dan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial. Sehingga, yang menjadi dasar adalah syariat individual, bukan syariat kolektif. Titik pijakan utama adalah pada tingkatan kebebasan individual yang mempengaruhi keberadaan syariat pada tingkatan kolektif.Sehingga unsur dasar pada misi kedua adalah penerapan syariat secara dinamis, ada kemungkinan perubahan, dan mengalami proses perkembangan (organis). Syariat pada masa Madinah bersifat sangat dinamis, sedang syariat pada masa Makkah bersifat universal dan substantif.
Jadi, jika kita mencoba memahami syariat (Islam) maka pijakannya yang utama pada masa Makkah karena di sana kebebasan individual sangat diperhatikan. Istilahnya, Islam kafah (sempurna) adalah Islam pada masa periode Makkah. Masa Madinah adalah “perpanjangan tangan” atas syariat pada masa Makkah, yang tidak lantas kemudian me-nasakh (menghapus) syariat sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.
Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas.

3.Peran Nabi Muhammad SAW dalam sosial
          Berbeda dengan visi para orientalis pada umumnya, Montogomery Watt memandang positif sosok Nabi Muhammad. Dalam bukunya yang terkenal bertajuk Muhammad: prophet and statesman, Watt menguraikan secara komprehensif sejarah hidup Nabi Muhammad secara obyektif. Buku tersebut merupakan pemadatan dari dua buah buku yang dikarang oleh Waat sebelumnya, menurut Watt, Muhammad(sebagai seorang Nabi) mengajarkan dan menyebarkan agama islam sebagai tatanan etik, moral dan sosial bagi masyarakat yang di bangunnya.[10]

          Tugas kenabian dan kenegarawan telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dengan sukses. Keberhasilan ini dindikasikan oleh kenyataan bahwa sukuisme sempit yang merajalela pada masa jahiliyah telah dilenyapkan dan di gantikan oleh setruktur masyarakat yang asasi dan demokrasi yang sesuai dengan etika. Dalam pandangan Islam manusia pada hakikatnya adalah setara, setingkat dan sama dalam tataran harkat, derajat dan kedudukannya. Dan yang membedakannya secara mendasar semata-mata terletak pada bobot, nilai dan kualitas ketakwaannya kepada Allah Yang Maha Esa.
         
          Yang berarti bahwa Muhammad sebagai Nabi dan negarawan mengajarkan perlunya pembinaan dan pemantapan sendi-sendi pluralisme, inklusivisme, egalitarianisme dan humanism.Nabi sama sekali tidak mentoleransi dan tidak membenarkan segala bentuk sukuisme, rasialisme, ekslusivisme, chauvinisme, feodalisme, superioritas kesukuan dan kebangsaan yang sempit. Dalam posisi demikian, Nabi Muhammad sekaligus tampil sebagai sosok reformasi ini masih tetap releven dengan zaman sekarang ini dan masa-masa yang akan datang. Karena semangat reformasi yang di canangkan Nabi Muhammad sejalan dengan nuansa-nuansa kemanusiaan  universal, dan dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat.

          Menurut watt, ada tiga fondasi utama yang menjadi landasan kebesaran Muhammad
1).Muhammad mempunyai bakat dan visi sebagai pengamat yang jeli yang bisa   menerawang melihat berbagai permasalahan jauh ke depan. Melalui dia, melalui wahyu yang di terimanya, dunia arab telah diperuntuhkan kepadanya sebagai arena yang dapat memunculkan kerangka ide gagasan yang memungkinkan  dia ada.[11]
2).Muhammad sebagai seorang negarawan bersifat bijaksana dalam melaksanakan segala sikap kenegarawanannya. Struktur konseptual yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah bersifat kerangka dasar.
3).Muhammad mempunyai seperangkat kecakapan dan strategi sebagai seorang administrator dan mempunyai pengetahuan dalam memilih pembantunya untuk menangani masalah-masalah administratif.

Selanjutnya Montgomary Watt mengatakan bahwa lebih banyak dan lebih mendalam seorang berefleksi tentng lika-liku sejarah hidup Nabi Muhammad, maka ia akan lebih merasa kagum terhadap kebesaran prestasi-prestasi yang telah di capainya. Keadaan memang telah memberinya peluang kepadanya dan ini jarang dimiliki oleh setiap orang, tetapi kelebihan Nabi Muhammad terletak pada kenyataan bahwa ia telah berjuang dan berpacu dengan waktu untuk mewujudkan prestasi-pretasinya yang luar biasa. Seandainya semua ini bukan karena kecakapannya sebagai seorang negarawan yang mempunya visi dan misi yang jeli, sebagai negarawan dan administrator, dan dibalik ini semua ini, kepercayaan terhadap Tuhan dan keyakinan bahwa tuhan yang telah mengutusnya, maka sebuah bab penting dalam lembaran perjalanan sejarah umat manusia akan tetap tidak di tulis.

Dengan kata lain, prestasi-prestrasi besarnya diraih atas dasar bobot kemampuan, kadar kecakapan dan kualitaas ketrampilan yang dimilikinya, maka Muhammad sebagai Nabi, sebagai negarawan dan sebagai reformis ditulis dan direkam dalam lembaran sejarah dunia. Tepat sekala apabila Michael H. Hart, penulis barat, dalam bukunya yang terkenal The 100:A Rangking of the Most Influental persons in History (Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah) menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh pertama.[12]

Dalam menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh pertama yang berpengaruh dalam sejarah, Hart menggunakan kriteria kesejarahan dan kualifikasi obyektif sebagai berikut.
1).Orangya benar-benar pernah ada dan tidak hanya hidup dalam dongeng-dongeng
2).Prestasinya mempunyai pengaruh terhadap generasi akan dating dan terhadap pristiwa-pristiwa yang akan terjadi
3).Ia mempunyai pengaruhterhadap generasi sekarang dan generasi yang akan dating.
4).Karya, ide dan cita-citanya merupakan hasil individual dan bukan merupakan buah pikiran kolektif.

Dasar-dasar kriteria dan kualifikasi yang dipakai oleh hart dalam menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah tentunya dilandaskan pada obyektivitas, bukian subjektivitas.Karena itu, kriteria dan kualifikasi itu dapat di terima dengan obyektif pula,Muhammad benar-benar pernah ada, mempunyai pengaruh luas terhadap generasinya dan generasi yang akan datang, prestasinya memiliki pengaruh luas pada masa hidupnya dan masa-masa sesudahnya dan yang akan datang, dan ide, cita-citanya dan karyanya merupakan hasil individual yang bersandar pada ketokohannya sebagai figure yang humanis.
















D.Kesimpulan

1. Dari pengertian Islam dan Sosial maka kita dapat mengetahui bahwa Islam mempunyai peran besar dalam masalah sosial,yaitu merubah sistim sosial yang asalnya berupa kasta menjadi sistem yang bersifat egaliter
2. Etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
3. Nabi Muhammad mempunyai peran penting dalam perubahan sosial masyarakat hal itu karena kemampuan, kadar kecakapan dan kualitaas ketrampilan yang dimilikinya serta karena Allah SWT memberi kemudahan bagi Nabi Muhammad.
 
E.Penutup

Demikian makalah yang dapat kami buat mengenai Islam dan Sosial.Semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya. Dalam makalah ini tentu masih jauh dari sempurna sehingga memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

F.Daftar Pustaka

Abdullah,Amin.2002.Filsafat Etika Islam.Bandung: Mizan                                       
Ismail,Faisal.2003.Ketegangan Kreatif Peradaban Islam
KBBI Offline 1.3
Kuroda,Tosio (ed.).1983.Islam Jiten.Toko:Tokyodo Shuppan
Manhaz Heydarpoor.2004. Wajah Cinta Islam dan Kristen, terj. M. Habib.                                                                                                                                                             .                                 Wijaksana.Bandung: Arasy Mizan                                                                                                               Nasution,Harun.1972. Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta: UI PressSaifuddin,Endang.1992. kuliah al-islam .jakarta: CV rajawali Sudarminta,J.2001. Etika Umum (Diktat Kuliah).Jakarta: STF Driyarkara                 Thaha,Muhammad.2003. Arus Balik Syariah, terj. Khoiron Nahdiyyin .Yogyakarta:    .                               LKiS                                                                                       


[1] H. Endang Saifuddin Ansori, kuliah al-islam, (jakarta: CV rajawali 1992), hal. 73.
[2] Tosio Kuroda (ed.),Islam Jiten,(Toko:Tokyodo Shuppan),h.13-14.
[3] KBBI Offline 1.3
[4] Dikutip dalam Manhaz Heydarpoor, Wajah Cinta Islam dan Kristen, terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy Mizan, 2004), hal. 31.                                                                                                               
 [5]Ibid,hal.32
[6] J. Sudarminta, Etika Umum (Diktat Kuliah), (Jakarta: STF Driyarkara, 2001), hal. 12.

[7]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003).

[8]M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 137-138.

[9]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), cet. v, hal. 125.

[10] Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA,Ketegangan Kreatif Peradaban Islam , hal. 67.
[11]Prof. Dr. H. Faisal Ismail, Ibid, 69.
[12]Prof. Dr. H. Faisal ismail, Ibid,70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar